WELCOME

Selamat bergabung... Nikmati:
Informasi, Analisa, Opini, Riset, Data tentang BIOLOGI LINGKUNGAN


Senin, 21 Februari 2011

"LOCAL PLANING" Melawan "GLOBAL WARMING"

http://minahasameidy.blogspot.com/p/naturalia.html

Luas & Kedalaman DANAU TONDANO

By. Meidy Tinangon

a.Luas Danau
Menurut Zen dan Alzwar (1974) dalam Rondo dan Soeroto (1990) Danau Tondano adalah danau alami yang terbentuk akibat patahan-patahan kulit bumi di masa silam. Panjang danau lebih kurang 12 km, lebar rata-rata 4 km.
Danau Tondano terletak ± 600 m diatas permukaan laut. Di bagian utara dan selatan, bagaian pinggiran danau merupakan daerah persawahan, sedangkan bagian timur dan barat pada umumnya daerah pantai danau berbatu-batu dan tergolong curam. Luas danau berkisar antara 4.278 – 5.600 ha. Danau Tondano dialiri oleh 25 sungai dan hanya 1 sungai sebagai out let yaitu Sungai Tondano yang bermuara di Teluk Manado (Rondo dan Soeroto, 1990). Menurut Kumurur (2002) diantara sungai-sungai yang menjadi inlet danau Tondano, terdapat 3 sungai yang menjadi kontributor utama dalam menyumbang unsur hara, bahan organic dan residu pestisida bagi Danau Tondano. Ketiga sungai tersebut adalah: S. Panasen, S. Ranoweleng (dari Gunung Soputan) dan S. Leleko (Gunung Tampusu).
b. Perubahan Kedalaman
Kedalaman danau menunjukan trend menurun seiring dengan bertambahnya tahun. Pada tahun 1934 masih memiliki kedalaman maksimum 40 m, tahun 1974 paling dalam 28 m dengan rata-rata 16 m (Zen dan Alzwar, 1974 dalam Rondo dan Soeroto 1990). Hasil survey TNI-AL pada bulan Februari 1983 seperti dilaporkan  Rondo dan Soeroto (1990) dan Rompas dkk (1996) menyatakan bahwa kedalaman maksimum di bagian tengah danau mencapai rata-rata 25 m dan terdalam 27 m. Sementara itu survey Rompas dkk (1996) menunjukan bahwa topografi dasar danau bervariasi dari 2 m – 21 m, dan rerata kedalaman danau pada bagian tepi (± 8 m dari garis danau) 8 m, kecuali pada daerah dekat dengan pintu keluar (outlet) yang menunjukan rerata 2 m, dan sebaliknya ketebalan Lumpur dan tumbuhan air mencapai 9 m. Sementara itu kedalaman rerata pada bagian tengah danau dengan radius 700 m memiliki kedalaman 20 m dimana dengan kedalaman demikian, lumpur yang terbentuk pada daerah tersebut setebal ± 4 m.
Data perubahan kedalaman danau yang dihimpun oleh Kumurur (2002) dari berbagai sumber dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
Tabel 3. Perubahan Kedalaman Danau Tondano (Kumurur, 2002 dari berbagai sumber)

Tahun
Kedalaman
1934
40 m
1974
28 m
1983
27 m
1987
20 m
1992
16 m
1996
15 m

Referensi :
  • Kumurur, V. 2002. Aspek Strategis Pengelolaan Danau Tondano. Jurnal Ekoton, Unsrat, Manado.
  • Rondo, M. dan Soeroto 1990. Kondisi ekologis Perairan Danau Tondano. Berita  fakultas  Perikanan UNSRAT
  • Rompas dkk, 1996. Ekologi Danau Tondano. Laporan Penelitian. UNSRAT Manado.
  • Soeroto, B., 1989. Beberapa Masalah di Danau Tondano dan penanggulangannya. Jurnal FAPERIK  Vol. 1 dan No. 1 UNSRAT Manado.


Sejak Kapan MANUSIA mulai BERCIUMAN ???

 
KOMPAS.com — Kebiasaan berciuman mungkin sudah sangat lazim dilakukan manusia. Namun, kapan tepatnya kita memulai kebiasaan tersebut, hal itu menjadi misteri yang menarik untuk ditelisik.
Sheril Kirshenbaum, penulis buku The Science of Kissing mengungkapkan, "Bukti literatur tertua yang mengungkapkan sejarah kebiasaan berciuman adalah teks bahasa Sansekerta dari India, yaitu dari 3.500 tahun yang lalu."
Namun, Kirshenbaum mengungkapkan bahwa kebiasaan berciuman mungkin sudah ada sebelum masa tersebut. Menurutnya, spesies manusia mungkin sudah memulai kebiasaan berciuman sejak pertama kali mereka ada.
Kebiasaan berciuman yang dimiliki manusia mungkin punya dasar genetika yang sejalan dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini terlihat dari adanya perilaku serupa ciuman yang dijumpai pada beberapa spesies hewan.
"Bonobo saling menghisap lidah selama 12 menit, kura-kura saling menekan kepala, jerapah saling melilitkan leher, dan anjing selalu menjilat apa pun," Kirshenbaum menguraikan beberapa contoh.
Perbedaannya, perilaku serupa ciuman yang terdapat pada hewan belum bisa dikatakan didasari oleh emosi atau motivasi, misalnya cinta. Perilaku hewan tersebut masih dikategorikan sebagai insting untuk pemilihan pasangan.
Lebih lanjut, dalam wawancaranya dengan National Public Radio, Rabu (13/2/2011), ia mengatakan bahwa bibir manusia mungkin juga didesain untuk mendukung aktivitas seperti ciuman. Pasalnya, bibir kaya akan ujung saraf yang terkoneksi ke otak.
"Dalam hal ini, bibir kita merupakan zona erotis. Bibir benar-benar jalan kita untuk menginterpretasikan dunia," kata Kirshenbaum. Sensasi kecil seperti sinyal dari sentuhan sikat gigi pun bisa sangat terasa di bibir.
Perilaku ciuman merupakan salah satu contoh perilaku yang diturukan, baik secara alami maupun lewat bimbingan. "Manusia tampaknya memiliki dorongan untuk terhubung dengan orang lain dengan cara ini walaupun juga dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman pribadi," ujarnya.
Bibir manusia yang digunakan sebagai alat berciuman kemungkinan lebih sensitif dari bibir spesies lain. Bibir simpanse, misalnya, tak sesensitif bibir manusia sehingga perilaku ciuman pada simpanse lebih mirip dengan pelukan.

Sumber :
@ SainsKOMPAS.com
Kapan Manusia Mulai Berciuman?
Penulis: Yunanto Wiji Utomo | Editor: Tri Wahono
Senin, 14 Februari 2011 | 18:16 WIB

Berkenalan dengan EUTROFIKASI

Menurut Connell dan Miller (1995), Eutrofikasi diperikan pertama kali oleh Weber pada tahun 1907 ketika ia memperkenalkan istilah oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik (Hutchinson, 1969). Istilah ini memerikan proses eutrofikasi sebagai suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang bersih menjadi berlumpur oleh pengkayaan unsur hara tanaman dan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Sejak saat itu, terdapat banyak pemerian dan kriteria untuk istilah ini serta pengenalan istilah baru tersebut semakin berkembang.
 OECD telah mencirikan eutrofikasi sebagai “pengkayaan unsur hara pada air yang menyebabkan rangsangan suatu perubahan yang simpomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya perikanan, memburuknya kualitas air dan perubahan simpomatik lainnya yang tidak dikehendaki serta mengganggu penggunaan air”  (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 1995).
Akumulasi alami dari nutrien dalam danau disebut eutrofikasi alami (natural eutrophication). Akumulasi nutrien dan erosi alami dapat dengan waktu yang sufisien, mentransformasi danau kedalam tanah rawa dan kemudian tanah kering, sebuah proses yang disebut suksesi alami (natural succesion). Dalam proses ini nutrien inorganikmerangsang pertumbuhan tanaman; tumbuhan suatu saat mati dan menyumbang sedimen organik kedalam dasar danau (Chiras, 1988).
Dalam proses eutrofikasi alamiah, detritus tanaman, garam-garaman, pasir dan sebagainya dari suatu daerah aliran masuk dalam aliran air dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Ini menyebabkan pengkayaan unsur hara, sedimentasi, pengisian dan peningkatan biomassa (Connell dan Miller, 1988).  
Danau-danau oligotrofik secara tiba-tiba menjadi lebih kaya atau eutrofik dengan tertimbunnya zat-zat makanan pada saat mereka menjadi lebih tua. Di alam eutrofikasi menghasilkan suatu keseimbangan dan ini dapat dilihat dengan perbedaan susunan komunitas pada tubuh air oligotrofik dan eutreofik. Pada air eutrofik alami, plankton berlimpah, perkembangan ganggang merupakan hal yang umum. Terdapat imbangan yang baik pada bahan-bahan organik baik dalam larutan maupun pada dasarnya. Eutrofikasi menjadi sebuah masalah jika disebabkan oleh campur tangan manusia, karena hal-hal yang seperti inilah jangka waktu menjadi berkurang sehingga keseimbangan secara sehingga keseimbangan secara alami berkurang (Michael, 1994).
Eutrofikasi buatan sebagai hasil kegiatan manusia menambah kekurangan oksigen dalam zone profundal. Jadi ikan yang stenotermal, yang dapat bertahan pada suhu rendah, hanya hidup dalam danau “miskin”, dimana air di bagian dalam yang dingin tidak kekurangan oksigen. Jenis-jenis seperti ini adalah yang pertama kali menghilang di Great Lakes di Amerika serikat. Organisme rendah (berlawanan dengan ikan) dari zone profundal beradaptasi untuk tahan terhadap kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang panjang (Odum, 1991).
Diutarakan juga oleh Conell dan Miller (1988), bahwa kegiatan manusia sangat mempengaruhi pengkayaan unsur hara dan eutrofikasi. Pada kenyataanya, dalam waktu 100 tahun terakhir banyak danau yang memperlihatkan pengkayaan unsur hara sangat cepat yang disebabkan oleh pencemran. Buangan,  seperti limbah rumah tangga, aliran dari bak penampungan kotoran, beberapa limbah industri, aliran dari perkotaan, aliran dari pertanian dan pengelolaan hutan, serta limbah hewan mengandung unsur hara tanaman yang seringkali menyebabkan pengkayaan unsur hara dan mempercepat eutrofikasi.
Menurut Michael (1994), pengaruh terbesar eutrofikasi terlihat pada air-air yang tenang, hasil yang nyata adalah suatu perkembangan ganggang. Seringkali lapisan ganggang dan kotoran bebek menutupi seluruh permukaan yang menyebabkan deoksigenasi pada air-air dibawahnya dimana fotosintesis berhenti disebabkan putusnya pencahayaan oleh lapisan ganggang. Pada saat ganggang ini mati dan terurai, terjadi  penurunan oksigen yang terurai lebih lanjut.
Danau dapat diklasifikasikan berdasarkan produktifitas primernya. Produktifitas atau kesuburan danau tergantung pada nutrisi yang diterimanya dari perairan regional, pada usia geologis dan pada kedalaman. Berdasarkan produktifitas, danau dibagi atas danau oligotrofik dan eutrofik. Danau oligotrofik biasanya dalam, dengan hipolimnion lebih besar dari epilimnion, dan mempunyai produktifitas primer rendah. Tanaman di daerah littoral jarang  dan kerapatan plankton rendah, walaupun jumlah jenis yang ada mungkin tinggi. Danau eutrofik adalah lebih dangkal  dan  produktifitas primernya lebih tinggi, vegetasi littoral lebih lebat dan populasi plankton lebih rapat (Odum, 1971).
Selanjutnya Thohir (1991) dan Soeriaatmaja (1981) mengungkapkan fase-fase perkembangan kehidupan di danau, yang terdiri dari: oligotrofi, mesotrofi, eutrofi dan distrofi. Danau oligotrofi, keadaan airnya jernih, bahan organik yang dikandung sedikit, kerapatan hewan dan tumbuhan rendah, suhu air relatif rendah, bahan makanan sedikit tetapi kaya oksigen. Danau oligotrofi lama kelamaan akan meningkat aktifitas biologisnya dan menjadi danau mesotrofi, dimana air menjadi lebih keruh, produksi bahan organik bertambah, kesuburan danau lebih tinggi namun belum mencapai kesuburan optimal. Jika kesuburan danau telah mencapai titik optimal, danau tersebut disebut danau eutrofi.

DAFTAR PUSTAKA
Chiras, D.D., 1988. Environmental Science- A Framework for Decicion Making. The Benjamin / Cumming Publishing comp, INC
Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran,
Cole, G.A., 1979. Textbook of Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York USA.
Michael, P., 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. UI Press Jakarta
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Sastrawijaya, A.T.1986. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta Jakarta.
Soeriaatmaja, R.E., 1981. Ilmu Lingkungan. ITB Bandung
Thohir, K.A. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cpta Jakarta

Mencari Solusi Problema DANAU TONDANO

Siapa yang sempat melihat langsung Danau Tondano, pasti  prihatin dengan kondisi danau kebanggaannya tersebut. Secara kasat mata, danau yang menjadi salah satu icon Sulawesi Utara saat ini dipenuhi oleh salah satu spesies tumbuhan air yang dikenal sangat cepat pertumbuhannya yaitu Eceng Gondok yang dalam bahasa ilmiah (scientific name) dikenal dengan nama Eichornia crassipes.